Di tengah riuh peradaban Kampar yang kini perlahan dilupakan, ada satu nama yang berdenyut seperti nadi sejarah itu sendiri, yaitu Kasir Datuok Saibu Gaghang, yang lebih dikenal rakyat dengan sebutan Datuk Seribu Garang. Dari laman silat di Bangkinang hingga pengasingan sunyi di Labuha dan Boven Digul, jejaknya adalah jejak darah, marwah, dan keberanian yang tak pernah padam.
Ia bukan hanya tokoh lokal. Ia adalah lambang jiwa Melayu Kampar yang menolak tunduk. Dan jika sejarah bangsa ini jujur pada dirinya sendiri, nama Kasir seharusnya berdiri sejajar dengan Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, dan para pahlawan yang diasingkan kolonial karena terlalu kuat untuk ditaklukkan.
*Anak Muara Uwai: Lahir dari Marwah Tanah Andiko*
Kasir lahir di Muara Uwai, Kenegerian Bangkinang, Kubuong V Koto, Tanah Andiko yang sejak masa Sriwijaya menjadi persekutuan adat paling tua di Sumatera Tengah. Ia tumbuh di bawah asuhan pamannya, Karim Datuok Saibu Gaghang (Datuk Seribu Garang), seorang Dubalang yang disegani karena keberanian dan kebijaksanaannya. Dari gelanggang silat di halaman Balai Rumbia itu, Kasir kecil ditempa bukan hanya dengan gerak tubuh, tapi dengan sumpah adat:
“Silat bukan untuk menunjukkan kekuatan, tetapi untuk menjaga marwah negeri.”
Gelar Saibu Gaghang (Seribu Garang) bukan hanya sebutan kebesaran, melainkan amanah. Gelar adat yang merupakan nama lain dari Datuok Panglimo Jolelo yang merupakan gelar adat untuk Dubalang Persukuan Melayu Datuok Mudo Kenegerian Bangkinang itu diwariskan dari Karim kepada Kasir, bukan melalui darah semata, melainkan melalui pengabdian, keberanian, dan pengorbanan.
Ia belajar bahwa menjadi Dubalang berarti menjadi perisai negeri; bahwa mempertahankan tanah lebih mulia daripada hidup nyaman dalam tunduk. Dari gelanggang pamannya, Kasir mewarisi bukan hanya ilmu silat, tapi jiwa Sriwijaya yang mengalir dalam urat nadi orang Kampar: lebih baik mati bermarwah daripada hidup dijajah.
*V Koto: Benteng yang Tak Pernah Takluk*
V Koto Kampar (Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, dan Rumbio) adalah wilayah yang paling sulit ditaklukkan penjajah Belanda. Catatan J.W. IJzerman dalam Dwars door Sumatra (1895) dan laporan resmi Koloniaal Verslag menyebut kawasan ini sebagai daerah yang “moeilijk te onderwerpen” yang berarti: teramat sulit ditundukkan.
Kolonial mengakui bahwa setiap rumah di Kampar bisa berubah menjadi benteng, setiap gelanggang menjadi medan tempur. Mereka menyebut para Dubalang Kampar sebagai “orang-orang yang tak mengenal takut, hidup di bawah hukum marwah, dan tak pernah menyerah bahkan ketika seluruh nagoghi terbakar.”
Kasir tumbuh dalam situasi itu. Ia menyaksikan bagaimana Andiko 44, sistem pemerintahan adat warisan Sriwijaya, berdiri teguh di tengah gempuran politik “pecah belah” Belanda. Ketika tanahnya dipaksa membayar pajak yang bukan adatnya, ketika Dubalangnya disebut “liar” dalam arsip kolonial, Kasir mengangkat pedang warisan pamannya dan berkata:
“Selagi darah mengalir di Sungai Kampar, negeri ini takkan dijual kepada penjajah.”
Pulau Godang (XIII Koto), April 1899: Api yang Menggetarkan Kolonial
Dalam laporan De Locomotief dan Sumatra Courant tahun 1899, tercatat satu peristiwa yang mengguncang wibawa kolonial di Kampar: Pertempuran Pulau Godang. Di sana, pasukan Dubalang yang dipimpin oleh Gandulo Datuok Tabano dan sahabat-sahabatnya termasuk Kasir Kazerne Belanda yang sekaligus menjadi cikal bakal tambang emas di Tanah Kampar.
Pertempuran itu berlangsung dua hari dua satu malam. Ketika peluru menembus dada Dubalang-dubalang muda, Kasir tetap berdiri di garis depan. Seorang kontrolir Belanda menulis dengan getir:
“Mereka bertempur bukan demi tanah atau emas, tetapi demi sesuatu yang disebut marwah, yang tak dapat kami pahami.” (Koloniaal Verslag, 1907, p.233).
Kekalahan kolonial di Pulau Godang membuat nama Kasir dan rekan-rekannya menjadi legenda di laporan militer. Belanda menyebutnya sebagai tokoh “onkwetsbaar” yang artinya kebal, karena setiap kali pasukan menyerang, ia selalu lolos, menembus hutan, dan membakar gudang logistik penjajah.
Namun bagi rakyat Kampar, kebal bukanlah sihir. Ia lahir dari keyakinan, dari sumpah Dubalang: “Tak akan mati sebelum marwah terjaga.”
*Dibuang ke Labuha dan Boven Digul: Jalan Panjang dari Pengorbanan*
Setelah dua bulan mempertahankan Benteng Palambayan, sejak gugurnya Gandulo Datuok Tabano dan para sahabat di penghujung Agustus 1899, dentuman senjata masih menggema di lembah Kampar.
Kasir Datuok Saibu Gaghang alias Datuok Panglimo Jolelo Garang bersama dua sahabat setianya, Kosat dan Manan, menjadi benteng terakhir Dubalang Kampar yang masih bertahan melawan artileri dan infanteri Belanda.
Namun setelah gagal menundukkannya dengan senjata, Belanda memilih jalan licik. Dalam laporan Residentie Sumatra’s Westkust, 1899, tertulis bahwa pasukan kolonial “akan membakar perkampungan dan menghukum rakyat kecil” bila Kasir tak segera menyerahkan diri.
Ancaman itu membuat suasana genting: di hadapan pilihan antara kehancuran rakyat atau pengorbanan diri, Kasir memilih jalan marwah.
Ia mengumpulkan pengikutnya di halaman benteng dan berkata:
“Jika aku turun, bukan karena kalah. Aku menyerahkan diri agar kampung ini tidak dijadikan abu.”
Maka pada Oktober 1899, bersama Kosat dan Manan, ia melangkah keluar dari benteng dengan tangan kosong, bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai pelindung yang rela menyerahkan diri demi keselamatan bangsanya.
Para sahabat seperjuangan telah gugur. Palambayan menjadi tanah suci pengorbanan, tempat darah dan air mata menyatu dalam nama marwah.
*Labuha dan Boven Digul: Dua Buangan, Satu Keabadian*
Penangkapan Kasir segera diikuti pengasingan resmi.
Dalam Sumatra Courant, 1900, termuat berita berjudul “Sariboe Garang uit Kampar naar Laboeha, Afdeeling Batjan, Ternate”; laporan pertama yang mencatat pemindahan seorang kepala pemberontakan dari Kampar ke pos pembuangan di kepulauan Maluku.
Catatan ini dikuatkan oleh Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië No. 26 tahun 1900, yang menegaskan penahanan “Sariboe Garang van Bangkinang” di Labuha, Afdeeling Bacan, Ternate.
Labuha adalah pulau sunyi di bawah kendali pos Ternate, tempat pembuangan bagi para pemimpin adat yang dianggap berbahaya.
Di sanalah Kasir menjalani tahun-tahun awal pengasingannya: jauh dari tanah Andiko, di antara laut biru dan penjagaan ketat serdadu. Namun bagi Belanda, Kasir tetap “hardnekkig” yang berarti keras kepala dan tak mau tunduk.
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 87 Tahun 1927, yang mencatat nama “Sariboe Garang van Bangkinang” dalam daftar tahanan politik yang dikirim ke kamp Boven Digul, Tahun 1927, ia dipindahkan lagi ke tempat yang lebih terpencil: kamp Boven Digul di pedalaman Papua, sebagaimana tercantum dalam Koloniaal Verslag 1927 dan salinan Besluitkaart Gouverneur-Generaal yang dimuat dalam Staatsblad 1927 No. 87.
Boven Digul bukan sekadar tempat buangan, ia adalah neraka hijau, rawa malaria yang menelan ratusan tahanan politik Hindia Belanda.
Namun bahkan di sana, Dubalang Kampar itu tetap tegak.
Ia mengajar silat kepada sesama tahanan, menulis doa di tanah berlumpur, dan menguatkan hati mereka dengan pesan:
“Kalau mati di rantau, sampaikan pada anak cucu, kita bukan kalah. Kita hanya berpindah gelanggang.”
Kesaksian lisan menyebutkan bahwa pada masa pembuangan itulah ia bersahabat dengan seorang penjaga Jawa bertubuh besar yang kemudian bersumpah mengikuti Kasir hingga akhir hayatnya. Lelaki itu, sepulang ke Bangkinang, diangkat sebagai saudara sepersukuan bergelar Datuok Mudo, bukti bahwa bahkan dalam penindasan, Kasir masih menanamkan kemanusiaan.
*Luka, Marwah, dan Keabadian*
Setelah lebih dari tiga dekade dalam pengasingan, Kasir Datuok Saibu Gaghang akhirnya dipulangkan ke tanah Kampar sekitar tahun 1930.
Ia kembali dalam keadaan renta, tubuh digerogoti penyakit tropis, tetapi semangatnya tetap menyala.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1932, Dubalang terakhir dari Palambayan itu wafat dengan tenang.
Ia dimakamkan di Pemakaman Bukit, Kampung Deling, Pulau Lawas, Bangkinang, suatu kampung kecil di tepi sungai, tak jauh dari tempat tempat dahulu ia berlatih silat bersama pamannya, Karim Datuok Saibu Gaghang.
Tidak ada tugu besar, hanya makam sederhana dan doa dari anak negeri yang masih mengingatnya.
Namun bagi orang Kampar, nama itu tak pernah mati.
Ia hidup di dalam setiap gelanggang, dalam setiap petatah adat yang mengajarkan marwah dan keberanian.
Buku Kasir Datuok Saibu Gaghang: Jejak Dubalang yang Menggetarkan Penjajah karya Ilham Afandi dkk menegaskan, pembuangan dan kematiannya bukanlah akhir, melainkan puncak pengorbanan seorang Dubalang sejati, yang menyerah bukan karena kalah, tetapi karena cinta kepada rakyatnya.
“Keputusan Kasir untuk keluar dari Benteng Palambayan bukan tanda menyerah, tetapi tindakan penyelamatan kemanusiaan. Ia rela kehilangan kebebasan agar rakyatnya hidup.”
Dengan segala keteguhan dan pengorbanannya, Kasir Datuok Saibu Gaghang layak dikenang sebagai Pahlawan Nasional dari Provinsi Riau, pejuang yang memadukan keberanian adat, kebijaksanaan marwah, dan kasih terhadap sesama.