“Lancang, kau hilang adat! Ibu bukan tanah tempat kau pijak!”
Itulah kutukan terakhir yang terdengar sebelum tubuh Si Lancang karam bersama perahu emasnya di Sungai Kampar. Kisah ini menjadi legenda yang masih diceritakan di pelantar-pelantar surau, dapur rumah godang, hingga sekolah-sekolah di kampung-kampung tua Kampar. Ia adalah simbol dari satu dosa besar yang tak terampuni dalam adat Melayu Andiko Kampar: durhaka kepada orang tua.
Asal-usul Cerita
Dahulu kala, di sebuah kampung kecil di pinggiran Sungai Kampar, hiduplah seorang janda miskin bersama anaknya yang bernama Lancang. Si janda bekerja sebagai penampi padi, pembuat lepat, dan penjual hasil hutan demi membesarkan anak tunggalnya. Sementara Si Lancang tumbuh menjadi anak yang pintar, cekatan, dan tampan, namun menyimpan ambisi besar meninggalkan kemiskinan.
Ketika beranjak dewasa, ia merantau ke seberang Selat Malaka, ke negeri seberang yang ramai dagangnya, mungkin ke Malaka, Singapura atau Johor. Di sana ia berhasil menjadi saudagar besar, menikahi perempuan bangsawan, dan membangun kapal besar berhias emas, yang oleh orang setempat disebut “Perahu Lancang Kuning”.
Kepulangan dan Aib
Bertahun-tahun kemudian, Si Lancang kembali ke kampung halamannya di Kampar. Namun ia tak pulang sebagai anak, melainkan sebagai tuan besar. Ia tidak lagi mengingat ibunya. Ketika kapal emasnya berlabuh di tepian sungai, kampung pun gempar. Orang-orang datang berkerumun, termasuk ibu tua yang masih menanti anaknya yang hilang kabar.
Sang ibu naik ke kapal untuk menemui anaknya. Namun ketika ia menyapa dengan suara gemetar, Si Lancang menolak mengenalinya. Ia malu mengakui bahwa ibu kandungnya berpakaian compang-camping di depan istri dan awak kapalnya.
> “Aku tak mengenal perempuan hina ini! Usir dia!”
Maka ibu itu pun turun dari kapal sambil menangis dan berkata:
“Lancang… kau hilang adat. Jika air sungai tak mau menenggelamkanmu, biarlah bumi yang menolak tubuhmu.”
Kutukan yang Menjadi Kenyataan
Tak lama setelah perahu itu meninggalkan tepian sungai, langit mendung bergemuruh. Sungai Kampar yang tenang berubah murka. Gelombang besar seperti lidah naga menelan perahu Lancang. Petir menyambar, dan kabut hitam menutupi pandangan.
Ketika warga kampung mencari jejaknya, yang tersisa hanya pecahan papan kapal dan emas yang berubah menjadi batu lumpur.
Konon, tubuh Si Lancang tak pernah ditemukan. Ada yang mengatakan ia terjebak di dasar sungai, terkutuk tak bisa mati, ada pula yang percaya ia berubah menjadi buaya putih penunggu jeram.
Makna dan Nilai Adat
Legenda Si Lancang bukan sekedar cerita dongeng. Ia mengandung nilai-nilai budaya masyarakat Kampar, Melayu dan Masyarakat Adat Andiko (Kampar)
Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, artinya anak harus tunduk pada ajaran agama dan adat.
Durhaka kepada ibu adalah aib yang mencemarkan marwah keluarga dan kampung.
Kekayaan tanpa budi pekerti adalah petaka yang mengundang murka alam.
Hingga kini, orang tua di seluruh Riau masih berkata kepada anak-anak mereka:
> “Jangan seperti Si Lancang. Kaya tak beradat, besar tak berbudi.”
Jejak Cerita
Beberapa kampung tua di Kampar seperti Kuok, Muara Uwai, dan Air Tiris memiliki versi lokal legenda Si Lancang. Ada yang menyebut nama aslinya bukan “Lancang”, melainkan “Laki-Laki Panglimo”, namun kisahnya tetap sama: anak yang lupa daratan dan ditelan sungai tempat ia dilahirkan.