Rumah Pencalang atau Pancalang dalam sebutan asli dan lokal, juga dikenal sebagai Rumah Lontiok, merupakan salah satu rumah adat tradisional yang sangat berakar dalam budaya masyarakat Melayu Tua di Kabupaten Kampar, Riau. Sebagai warisan arsitektur yang telah ada sejak zaman kuno, Rumah Pencalang mencerminkan identitas, nilai-nilai sosial, dan spiritual masyarakat Kampar melalui simbolisme, teknik konstruksi, dan nilai estetika yang khas (Hasyim, 2022).
Rumah Pencalang memiliki bentuk atap melengkung yang menyerupai daun sirih, yang menjadi ciri khas arsitektur Melayu Kampar. Bangunan ini umumnya berbentuk segi delapan, yang secara filosofi melambangkan delapan penjuru mata angin, menandakan keterbukaan masyarakat Kampar terhadap pengaruh luar tanpa mengorbankan identitas lokalnya. Struktur rumah ini didukung oleh tiang-tiang berpenampang oktagonal yang melambangkan hubungan sosial, hierarki, dan filosofi kosmologis. Tiang kayu dipilih dari jenis-jenis kayu keras seperti putatal, kulim, dan ubau, dengan ukiran emboss tebal yang mengandung makna simbolik (Zulkifli, 2014).
Berbeda dengan Rumah Gadang di Sumatera Barat yang memiliki banyak gonjong menjulang dan struktur yang kompleks, Rumah Pencalang hanya memiliki dua gonjong (dalam istilah Minangkabau) atau lontiok (dalam istilah Melayu Kampar), menandakan kesederhanaan bentuk yang justru menjadi indikator arsitektur yang lebih tua secara sosial dan logika. Lengkungan atapnya pun berbeda, lebih landai dan menyerupai sirih melengkung yang menjadi ciri khas Kampar dan membedakannya dari bentuk gonjong runcing milik Minangkabau. Rumah Pencalang merupakan salah satu bentuk arsitektur asli masyarakat Kampar, selain tipe rumah tradisional lainnya seperti Salaso Jatuo Kombau (Selasa Jatuh Kembar), yang juga mencerminkan keberagaman rancangan lokal dengan dasar filosofis dan nilai budaya yang tinggi.
Rumah Pencalang dibangun tanpa paku logam, menggunakan teknik pasak kayu dalam setiap sambungan, yang memerlukan ketelitian tinggi dan keterampilan turun-temurun. Material kayu yang digunakan melalui proses perendaman panjang di sungai untuk meningkatkan daya tahan terhadap cuaca dan organisme perusak, serta memastikan kekokohan bangunan. Teknik ini memperlihatkan keunggulan teknologi lokal yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sebuah contoh kecerdasan arsitektur berwawasan ekologis yang sudah berkembang sejak masa lampau (Nazri, 2019).
Konstruksi dan ornamen rumah ini memuat motif-motif ukiran yang mendalam makna, seperti pucuk paku, limpape, naga, dan bunga tapak dara, yang merepresentasikan prinsip keseimbangan, keberanian, keabadian, serta hubungan manusia dan alam. Pada bagian segitiga depan rumah terdapat “Singok”, ornamen simbolik dari filosofi “Tigo Tungku Sajoghangan”, yaitu keseimbangan antara adat, agama, dan pemerintahan. Unsur dekoratif ini memperlihatkan bahwa rumah bukan hanya sebagai hunian, melainkan simbol tata kelola sosial dan spiritual masyarakat (Hasyim, 2022).
Rumah Pencalang diyakini telah berkembang sejak masa kejayaan Kedatuan Sriwijaya dan merupakan bagian dari jaringan peradaban kuno yang menyebar dari pusatnya di Muara Takus ke seluruh Nusantara. Hubungan historis dan geografis ini menegaskan bahwa rumah ini merupakan artefak yang menyimpan nilai kontinuitas budaya serta identitas kolektif masyarakat Kampar dan peradaban Melayu secara umum (Manguin, 1993; Hasyim, 2022).
Saat ini, keberadaan Rumah Pencalang menghadapi ancaman kepunahan akibat proses modernisasi, minimnya regenerasi tenaga tukang tradisional, dan kurangnya perhatian pemerintah maupun masyarakat. Dari ratusan unit bangunan, tersisa hanya segelintir yang masih dalam kondisi layak. Oleh karena itu, perlunya langkah strategis seperti pendokumentasian sistematis secara visual, tulisan, dan digital; integrasi nilai budaya ke dalam kurikulum lokal; restorasi fisik berbasis prinsip konservasi arsitektur tradisional; serta penetapan sebagai situs cagar budaya nasional untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat (BPCB Sumbar-Riau, 2021).
Rumah Pencalang bukan sekedar bangunan atau konstruksi, melainkan warisan budaya yang menyimpan kekayaan nilai historis, filosofi, dan estetika yang tinggi. Pelestariannya membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan kesadaran kolektif untuk memastikan warisan ini tetap hidup, menjadi sumber identitas serta pembelajaran budaya bagi generasi mendatang, dan memperkuat jati diri masyarakat Kampar di tengah arus modernisasi.
Referensi
- Hasyim, A. L. (2022). Rumah Lontiok Bendang: Jejak Peradaban Melayu Tua, dan Warisan Arsitektur Tanpa Paku. Kampar: Pustaka Andiko.
- Zulkifli, H. (2014). Seni Ukir dan Makna dalam Arsitektur Tradisional Kampar. Jurnal Melayu Raya, 8(2), 122-139.
- Nazri, M. (2019). Teknologi Kayu dalam Arsitektur Tradisional Sumatera. Padang: Universitas Negeri Padang Press.
- Manguin, P. Y. (1993). Sriwijaya and the Trade Networks of the South China Sea. Journal of Southeast Asian Studies, 24(2), 14-30.
- Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar-Riau. (2021). Laporan Pendataan Rumah Tradisional Kampar. Pekanbaru: BPCB