Mohammad Amin: Sang Harimau Kampar

“Beliau bukan hanya seorang pejuang, tetapi penegak marwah Kampar dan pengibar Merah Putih pertama di Teritorial Provinsi Riau saat Ini.”

Awal Kehidupan di Tanah Andiko

H. Mohammad Amin lahir pada 3 Maret 1912 di Batu Belah, Kenegerian Air Tiris, V Koto Kampar, Tanah Andiko, tanah yang sejak lama dikenal sebagai pusat adat, ilmu, dan perjuangan. Ia lahir dari keluarga adat yang terpandang dan religius.
Ayahnya, Abbas Haji Mustafa Datuk Indokomo, adalah seorang penghulu persukuan Domo yang disegani. Beliau dikenal sebagai petani sukses, pemilik ternak kerbau, dan tokoh adat yang dihormati karena kebijaksanaannya. Ibunya, Hainah, adalah perempuan tangguh yang turut mengelola ekonomi keluarga dan menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan anak-anaknya.

Lingkungan rumahnya sarat dengan musyawarah dan pengajaran adat, sehingga sejak kecil Mohammad Amin telah ditempa oleh disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran marwah, kesadaran untuk tidak membiarkan harga diri bangsanya diinjak oleh siapa pun.

Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Amin menempuh pendidikan formal di Sekolah Gouvernement Air Tiris hingga tamat pada tahun 1927. Setelah itu, ia menimba ilmu agama di Tarbiyatul Islamiyah Magek, Bukittinggi, dan melanjutkan ke Parambahan, Payakumbuh, berguru kepada ulama besar H. Mohd. Zein.
Di sanalah, di bawah bimbingan para guru agama dan aktivis muda Islam, kesadarannya tumbuh bahwa ilmu dan perjuangan tidak boleh dipisahkan.

Ia bergabung dengan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia), serta berjejaring dengan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Jong Islamieten Bond. Dari sinilah karakter kepemimpinannya terbentuk: berani, disiplin, dan berpegang pada nilai “adat basondi syara’, syara’ besondi Kitabullah.”

Pengibaran Merah Putih Pertama di Teritorial Provinsi Riau Saat Ini

Tanggal 9 September 1945 menjadi babak sejarah besar bagi Riau dan Kampar. Hanya beberapa minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan, Mohammad Amin secara personal mengibarkan Bendera Merah Putih pertama di Provinsi Riau.
Peristiwa itu disusul dengan Upacara Bendera Akbar Pertama Kali di Riau yang diselenggarakan di Bangkinang pada 10 September 1945, yang dihadiri ribuan rakyat. Mereka bersumpah setia kepada Republik Indonesia di bawah panji Merah Putih yang dikibarkan Amin sendiri.

Keberanian itu bukan tindakan seremonial, melainkan langkah berisiko tinggi, karena pasukan Jepang dan Belanda masih bercokol di wilayah Kampar. Namun, bagi Mohammad Amin, kemerdekaan tidak bisa ditunda. Ia percaya bahwa kemerdekaan bukan pemberian, melainkan hak yang harus ditegakkan dengan nyali dan keyakinan.

Perjuangan dalam PDRI dan Diplomasi KTN

Perjuangan Mohammad Amin tidak berhenti setelah Proklamasi. Ketika Belanda melancarkan agresi militer dan ibu kota Indonesia jatuh ke tangan musuh, ia turut berperan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Tengah.
Ia menjadi tokoh penting dalam menjaga kesinambungan pemerintahan Republik. Selain itu, ia ikut memfasilitasi pertemuan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kuok, Kampar, yang menjadi bagian dari upaya diplomasi internasional dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Peran strategis ini menjadikan Kampar bukan hanya sebagai saksi sejarah, tetapi juga poros pertahanan dan diplomasi republik. Mohammad Amin berdiri di tengah pusaran itu sebagai figur ulama, politisi, sekaligus negarawan.

Pembangunan Daerah dan Pengabdian Pasca-Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, Mohammad Amin tidak berhenti berjuang. Ia berperan aktif dalam pembentukan Provinsi Riau dari Sumatra Tengah dan memimpin pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kampar ke Bangkinang.
Sebagai anggota DPRD Kampar dan kemudian DPRD Riau, ia dikenal sebagai tokoh yang sederhana, tegas, dan tidak pernah menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Dalam bidang sosial-keagamaan, ia terus mengabdi melalui Muhammadiyah dan kegiatan dakwah, mendirikan sekolah-sekolah Islam, dan membimbing generasi muda agar tidak tercerabut dari akar adat dan agama.

Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi Piagam Satyalancana Perintis Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia, sebagai pengakuan atas perjuangan dan pengabdiannya kepada negara.

Keteladanan Seorang Harimau Kampar

Mohammad Amin dijuluki “Harimau Kampar” bukan tanpa alasan. Julukan itu diberikan karena keberanian dan keteguhannya membela rakyat, marwah, dan agama. Ia menjadi simbol kekuatan moral dan keteladanan di tengah pergolakan zaman.

Beliau wafat pada 16 Juni 2004 di RSUD Bangkinang dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Eka Bakti, Bangkinang. Kepergiannya meninggalkan warisan besar: kejujuran, ketegasan, kesederhanaan, dan pengabdian yang tulus bagi bangsa.

Warisan Abadi untuk Generasi Muda

Dari Kenegerian Air Tiris, Mohammad Amin menyalakan bara semangat yang tak pernah padam: semangat untuk merdeka, berdaulat, dan berilmu.
Ia adalah teladan bagi generasi muda Provinsi Riau dan Republik Indonesia, bahwa keberanian tidak selalu diukur dari kekuatan senjata, melainkan dari keteguhan prinsip dan keikhlasan berjuang.

Kini, namanya terus diusulkan oleh masyarakat Provinsi Riau untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia, sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian dan nilai perjuangan yang diwariskannya kepada negeri ini.

Referensi:
Ilham Afandi, bersama Syaipul Bahri, Indra Yusneaydi, dan Andika Illahi. Buku Biografi Mohammad Amin: Sang Harimau Kampar. Klaten: Nas Media Indonesia, 2025. ISBN 978-634-205-634-9.

Mohammad Amin: Sang Harimau Kampar

“Beliau bukan hanya seorang pejuang, tetapi penegak marwah Kampar dan pengibar Merah Putih pertama di Teritorial Provinsi Riau saat Ini.”

Awal Kehidupan di Tanah Andiko

H. Mohammad Amin lahir pada 3 Maret 1912 di Batu Belah, Kenegerian Air Tiris, V Koto Kampar, Tanah Andiko, tanah yang sejak lama dikenal sebagai pusat adat, ilmu, dan perjuangan. Ia lahir dari keluarga adat yang terpandang dan religius.
Ayahnya, Abbas Haji Mustafa Datuk Indokomo, adalah seorang penghulu persukuan Domo yang disegani. Beliau dikenal sebagai petani sukses, pemilik ternak kerbau, dan tokoh adat yang dihormati karena kebijaksanaannya. Ibunya, Hainah, adalah perempuan tangguh yang turut mengelola ekonomi keluarga dan menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan anak-anaknya.

Lingkungan rumahnya sarat dengan musyawarah dan pengajaran adat, sehingga sejak kecil Mohammad Amin telah ditempa oleh disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran marwah, kesadaran untuk tidak membiarkan harga diri bangsanya diinjak oleh siapa pun.

Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Amin menempuh pendidikan formal di Sekolah Gouvernement Air Tiris hingga tamat pada tahun 1927. Setelah itu, ia menimba ilmu agama di Tarbiyatul Islamiyah Magek, Bukittinggi, dan melanjutkan ke Parambahan, Payakumbuh, berguru kepada ulama besar H. Mohd. Zein.
Di sanalah, di bawah bimbingan para guru agama dan aktivis muda Islam, kesadarannya tumbuh bahwa ilmu dan perjuangan tidak boleh dipisahkan.

Ia bergabung dengan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia), serta berjejaring dengan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Jong Islamieten Bond. Dari sinilah karakter kepemimpinannya terbentuk: berani, disiplin, dan berpegang pada nilai “adat basondi syara’, syara’ besondi Kitabullah.”

Pengibaran Merah Putih Pertama di Teritorial Provinsi Riau Saat Ini

Tanggal 9 September 1945 menjadi babak sejarah besar bagi Riau dan Kampar. Hanya beberapa minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan, Mohammad Amin secara personal mengibarkan Bendera Merah Putih pertama di Provinsi Riau.
Peristiwa itu disusul dengan Upacara Bendera Akbar Pertama Kali di Riau yang diselenggarakan di Bangkinang pada 10 September 1945, yang dihadiri ribuan rakyat. Mereka bersumpah setia kepada Republik Indonesia di bawah panji Merah Putih yang dikibarkan Amin sendiri.

Keberanian itu bukan tindakan seremonial, melainkan langkah berisiko tinggi, karena pasukan Jepang dan Belanda masih bercokol di wilayah Kampar. Namun, bagi Mohammad Amin, kemerdekaan tidak bisa ditunda. Ia percaya bahwa kemerdekaan bukan pemberian, melainkan hak yang harus ditegakkan dengan nyali dan keyakinan.

Perjuangan dalam PDRI dan Diplomasi KTN

Perjuangan Mohammad Amin tidak berhenti setelah Proklamasi. Ketika Belanda melancarkan agresi militer dan ibu kota Indonesia jatuh ke tangan musuh, ia turut berperan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Tengah.
Ia menjadi tokoh penting dalam menjaga kesinambungan pemerintahan Republik. Selain itu, ia ikut memfasilitasi pertemuan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kuok, Kampar, yang menjadi bagian dari upaya diplomasi internasional dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Peran strategis ini menjadikan Kampar bukan hanya sebagai saksi sejarah, tetapi juga poros pertahanan dan diplomasi republik. Mohammad Amin berdiri di tengah pusaran itu sebagai figur ulama, politisi, sekaligus negarawan.

Pembangunan Daerah dan Pengabdian Pasca-Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, Mohammad Amin tidak berhenti berjuang. Ia berperan aktif dalam pembentukan Provinsi Riau dari Sumatra Tengah dan memimpin pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kampar ke Bangkinang.
Sebagai anggota DPRD Kampar dan kemudian DPRD Riau, ia dikenal sebagai tokoh yang sederhana, tegas, dan tidak pernah menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Dalam bidang sosial-keagamaan, ia terus mengabdi melalui Muhammadiyah dan kegiatan dakwah, mendirikan sekolah-sekolah Islam, dan membimbing generasi muda agar tidak tercerabut dari akar adat dan agama.

Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi Piagam Satyalancana Perintis Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia, sebagai pengakuan atas perjuangan dan pengabdiannya kepada negara.

Keteladanan Seorang Harimau Kampar

Mohammad Amin dijuluki “Harimau Kampar” bukan tanpa alasan. Julukan itu diberikan karena keberanian dan keteguhannya membela rakyat, marwah, dan agama. Ia menjadi simbol kekuatan moral dan keteladanan di tengah pergolakan zaman.

Beliau wafat pada 16 Juni 2004 di RSUD Bangkinang dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Eka Bakti, Bangkinang. Kepergiannya meninggalkan warisan besar: kejujuran, ketegasan, kesederhanaan, dan pengabdian yang tulus bagi bangsa.

Warisan Abadi untuk Generasi Muda

Dari Kenegerian Air Tiris, Mohammad Amin menyalakan bara semangat yang tak pernah padam: semangat untuk merdeka, berdaulat, dan berilmu.
Ia adalah teladan bagi generasi muda Provinsi Riau dan Republik Indonesia, bahwa keberanian tidak selalu diukur dari kekuatan senjata, melainkan dari keteguhan prinsip dan keikhlasan berjuang.

Kini, namanya terus diusulkan oleh masyarakat Provinsi Riau untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia, sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian dan nilai perjuangan yang diwariskannya kepada negeri ini.

Referensi:
Ilham Afandi, bersama Syaipul Bahri, Indra Yusneaydi, dan Andika Illahi. Buku Biografi Mohammad Amin: Sang Harimau Kampar. Klaten: Nas Media Indonesia, 2025. ISBN 978-634-205-634-9.

Bagikan Postingan:

Postingan Terkait