GANDULO DATUK TABANO: PANGLIMA PERANG KAMPAR

GANDULO DATUK TABANO: PANGLIMA PERANG KAMPAR

Profil dan Asal Usul

Gandulo Datuok Tabano lahir sekitar tahun 1864–1869 di Kampung Uwai, Desa Muara Uwai, Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Ia berasal dari persukuan Melayu Datuok Tuo, Kenegerian Bangkinang, dan menyandang gelar adat Datuok Tabano, gelar dubalang yang berfungsi menjaga keamanan, kehormatan, dan pertahanan persukuan dalam sistem adat Tanah Andiko.

Gandulo dikenal memiliki tubuh tinggi besar, diperkirakan 185 cm jika dikonversi ke ukuran masa kini. Rambutnya panjang hingga ke bahu, wajahnya tegas dan tampan, dengan kumis tipis serta pandangan mata tajam namun teduh. Karisma dan ketegasannya membuatnya disegani sebagai pemimpin alami. Ia menikah dua kali: dengan perempuan Uwai yang memberinya dua anak (Arif dan Abdurrauf) lalu istri pertamanya meninggal, ia menikah lagi dengan Halimah Siyam (Mak Siam) dari Pulau Loweh yang memberinya empat anak (Sulin, Siti Khadijah, Abdullah Umar, dan Sabilbah).

Sebagai Dubalang, Gandulo tidak hanya seorang penjaga keamanan, melainkan panglima pada masa itu yang mengatur strategi perang, menjaga disiplin, dan memastikan hukum adat ditegakkan di tengah masyarakat Kampar. Ia dikenal menguasai ilmu bela diri tinggi, dan setiap kali menghadapi ancaman, rambut panjangnya disebut berdiri tegak “seperti diterpa angin” (isyarat batin bahwa ia siap bertarung).

Perjuangan dan Kepemimpinan

Sejak 1894, Gandulo memimpin perlawanan terhadap penetrasi Belanda di wilayah V Koto (Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio), suatu konfederasi di Tanah Andiko atau Tanah Kampar yang terkenal sulit ditaklukkan. Ketika Belanda mencoba menguasai jalur sungai Kampar dan tambang Siabu, Gandulo bersama para Dubalang yaitu Karim Datuok Saibu Gaghang, Kasir Datuok Saibu Gaghang (penjawat gelar adat Karim), Saleh Datuok Si Ampang Langka alias Datuok Kipe, Usman Datuok Dubalang Kayo, H. Ismail Datuok Bagindo Sipado Alias Datuok Panglimo Caka, Daud Datuok Panji Alam Alias Datuok Ghajo Angek Gaghang dll menolak keras segala bentuk kompromi.

Ia kemudian diangkat menjadi Komandan Para Dubalang dan Panglima Perang V Koto melalui musyawarah para penghulu dan tokoh adat. Pertimbangannya antara lain:

  1. Reputasinya sebagai pejuang tangguh dan tak tergoyahkan.
  2. Penguasaan medan darat dan sungai.
  3. Ketekunannya dalam disiplin adat.

Sebagai komandan, ia memadukan struktur adat dengan taktik militer modern, menjadikan perlawanan V Koto terorganisir dan efektif.

Belanda bahkan mengakui kehebatan sistem pertahanan ini. J.W. IJzerman, pejabat kolonial Belanda, menulis dalam bukunya Dwars door Sumatra (1895):

“Geen Europeaan Drong In Deze Streken Door, Orang V Kota Lawan Companie”
(“Tidak ada orang Eropa yang menembus wilayah ini, Orang V Koto Lawan Companie.”)

Aksi Heroik: Membinasakan 32 Prajurit Kolonial

Puncak kegemilangan Gandulo terjadi dalam pertempuran di Bangkinang, 26 Agustus 1899, ketika ia membinasakan 32 prajurit Belanda dalam satu pertempuran tunggal seorang diri.

Dalam arsip militer Belanda disebutkan:

Uittreksel uit het Rapport der Militaire Politie – Padang
(Vertrouwelijk – Niet voor publicatie)

“Een merkwaardige, doch voor onze troepen hoogst betreurenswaardige gebeurtenis heeft zich voorgedaan tijdens de jongste ongeregeldheden in het gebied van Kampoeng Gedang Bangkinang. Gij zult het niet gelooven, doch twee en dertig (32) onzer soldaten zijn op den 26sten Augustus 1899 in één treffen afgeslacht door een Deze Maleijer Tabano.

Ondanks het bezit van vuurwapens, munitie en volledige uitrusting, is het den troep niet gelukt den aanvaller te overmeesteren. Allen werden spoedig buiten gevecht gesteld. De aanvaller, die te voren vergezeld was van een anderen hoeloebalang, genaamd Datoe Sariboe Garang, heeft na diens vertrek de daad alleen verricht.

Met het oog op den ontmoedigenden invloed van deze gebeurtenis op het moreel der troepen, is besloten hiervan geene openbare mededeeling in de bladen te doen.”

Terjemahan: “

Laporan Polisi Militer – Padang
(Rahasia – Tidak untuk dipublikasikan)

“Sebuah peristiwa yang luar biasa, namun sangat disesalkan oleh pasukan kami, telah terjadi selama kerusuhan terakhir di wilayah Kampung Godang Bangkinang.

Anda mungkin tidak akan mempercayainya, tetapi tiga puluh dua (32) orang prajurit kami telah dibantai dalam satu pertempuran pada tanggal 26 Agustus 1899 oleh seorang Melayu bernama Tabano.

Meskipun pasukan kami memiliki senjata api, amunisi, dan perlengkapan lengkap, mereka tidak berhasil menundukkan penyerang itu. Semua segera dibuat tak berdaya dalam waktu singkat. Penyerang tersebut, yang sebelumnya ditemani oleh seorang hulubalang (dubalang) lain bernama Datuk Seribu Garang, melakukan tindakan itu seorang diri setelah rekannya pergi.

Dengan mempertimbangkan dampak yang melemahkan semangat pasukan akibat peristiwa ini, telah diputuskan untuk tidak mengumumkan laporan ini kepada khalayak umum melalui surat kabar.”

Catatan itu menimbulkan guncangan besar di lingkungan kolonial Hindia Belanda. Dalam laporan internal lain, disebutkan bahwa satu kompi pasukan (sekitar 100 orang) porak-poranda karena serangan yang dipimpin oleh Dubalang Datuok Tabano. Para prajurit Belanda menganggap Gandulo memiliki kekuatan gaib, karena tidak satu pun peluru yang mempan mengenainya di awal pertempuran.

Kemenangan ini membuat nama Gandulo menjadi momok menakutkan bagi pasukan kolonial di Kampar dan Siak. Bahkan, surat kabar Belanda seperti Het Nieuws van den Dag, De Locomotief, dan Java-Bode mencatat tentang tewasnya perwira kolonial bernama Clifford di tangan pasukan Gandulo.

Kematian yang Tragis dan Penuh Martabat

Namun, kemenangan itu juga membuat Belanda semakin marah, ditambah lagi kemenangan V Koto sebelumnya di Pulau Godang (13 Koto) tanggal 5-6 April 1899 yang menewaskan Clifford. Setelah penyusupan mata-mata pribumi dari Luak 50 dan Agam, posisi Gandulo berhasil diketahui. Ia dikepung di Bangkinang.

Menurut kesaksian turun-temurun dan dicatat dalam buku “Gandulo Datuok Tabano: Penjaga Tanah Paling Sulit Ditaklukkan Hingga Tetes Darah Terakhir”, Belanda tidak membunuhnya dengan cara biasa. Mereka ingin menciptakan teror bagi rakyat Kampar:

“Di tanah lapang dekat Balai Adat Bangkinang, tubuh Gandulo dikubur perlahan hingga hanya lehernya tersisa di permukaan tanah. Dalam keadaan terkurung, ia masih menatap para serdadu dengan sorot mata tajam, membuat beberapa prajurit menunduk ketakutan. Akhirnya, lehernya ditembak dan mulutnya ditusuk dengan kerisnya sendiri.”

Peristiwa keji itu disembunyikan dari publik Belanda karena dianggap memalukan secara moral, seorang panglima kolonial gugur di tangan rakyat pribumi yang tak bersenjata lengkap. Surat kabar seperti Zutphensche Courant dan Sumatra Courant hanya menulisnya secara samar-samar untuk menghindari kegaduhan politik di Den Haag.

Setelah sang pejuang gugur pada tanggal 28 Agustus 1898, jenazahnya dimakamkan di Paghik Ontang, Pulau Loweh (kampung istrinya) dan kemudian dipindahkan ke Uwai, tempat kelahirannya. Menurut cerita rakyat, Belanda memisahkan kepala dan tubuhnya karena takut ia akan “hidup kembali” (walaupun sebagian membantah cerita ini). Ini adalah bukti betapa besar ketakutan mereka terhadap sosoknya.

Warisan dan Kelayakan Sebagai Pahlawan Nasional

Gandulo Datuok Tabano meninggalkan warisan perjuangan yang melampaui batas geografis Kampar. Ia mewakili tiga unsur penting kepahlawanan:

  1. Keberanian tanpa kompromi.
    Ia berperang sampai mati tanpa menyerah dan menolak tunduk kepada kolonial.
  2. Kepemimpinan adat yang egaliter.
    Ia memimpin bukan karena darah bangsawan, melainkan karena legitimasi adat dan kepercayaan masyarakat.
  3. Rekam sejarah kolonial yang mengakuinya.
    Baik dalam Uittreksel Militaire Politiek Weekrapport maupun laporan pers kolonial (Dagblad van Noord-Brabant, De Locomotief, Java-Bode), nama “Tabano” tercatat sebagai tokoh perlawanan yang menimbulkan kerugian besar bagi Belanda.

Kesimpulan

Gandulo Datuok Tabano adalah simbol keteguhan, keberanian, dan kedaulatan adat Kampar. Ia bukan hanya pembela V Koto, tetapi benteng marwah Melayu yang menolak dijajah.
Catatan kolonial dan kesaksian rakyat menjadikannya figur historis yang nyata, bukan mitos. Maka, pengusulan Gandulo Datuok Tabano sebagai Pahlawan Nasional bukan sebatas kehormatan daerah, melainkan pengakuan terhadap salah satu bab terluhur sejarah perlawanan Melayu di Sumatera.

“Kematian tidak membuatnya kalah; tanah Kampar memeluk jasadnya, tapi keberaniannya tetap hidup di dada anak negeri.”
— Ilham Afandi dkk., Gandulo Datuok Tabano, hlm. 82

Bagikan Postingan:

Postingan Terkait