Mengenal Adat Istiadat-Tradisi Andiko 44 Kampar (Melayu Tua) dan Hubungannya Dengan Taiwan (Formosa) 

Ilustrasi Hubungan Andiko 44 Kampar dengan Formosa Taiwan

I. Latar Belakang Sejarah

Hubungan antara negeri-negeri di wilayah Nusantara dengan Taiwan (dahulu dikenal sebagai Formosa) bukanlah fenomena baru, melainkan telah terjalin sejak era awal peradaban bahari di kawasan Asia Tenggara. Salah satu simpul penting dalam jaringan hubungan ini adalah Kadatuan Sriwijaya yang dalam catatan-catatan sejarah dan bukti arkeologis banyak ahli ditempatkan pusatnya di Muara Takus, Kampar, yang terletak di jantung Pulau Sumatera bagian tengah. Muara Takus bukan hanya merupakan situs candi Buddhistik semata, melainkan juga diyakini sebagai pusat spiritual, akademik, dan politik dari apa yang disebut sebagai Sriwijaya Melayudwipa, sebuah entitas geopolitik yang lebih tua dari yang digambarkan dalam narasi kolonial maupun versi Palembang-sentris.

Dalam berbagai sumber Tiongkok kuno dan catatan perjalanan para biksu, kawasan ini disebut sebagai Swarnadwipa (Pulau Emas), Shilihfosih, Sriboga, atau bahkan dalam bentuk fonetik lain seperti Pulau Poco. Kesemua istilah tersebut merujuk pada satu kawasan maritim yang sangat maju dalam teknologi navigasi, ilmu keagamaan, dan jaringan niaga internasional. Di sinilah, tepatnya di Muara Takus, terbentuk suatu peradaban Melayu Tua yang dikenal sangat kuat dalam aspek kelembagaan adat. yang salah satu warisan autentiknya adalah sistem Andiko 44, yaitu sistem pemerintahan adat kolektif yang unik dan mandiri.

Pada masa keemasannya, Kadatuan Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus ini telah membangun relasi yang sangat intensif dengan kawasan Asia Timur, termasuk Formosa (Taiwan), melalui jalur pelayaran dan pertukaran budaya yang terorganisir. Dalam cakupan imperium bahari Sriwijaya menurut Prof. Slamet Mulyana dan Prof. Poerbatjaraka, kekuasaan dan pengaruh Sriwijaya mencakup wilayah yang sangat luas dari pantai timur Afrika, Madagaskar, India, Sri Lanka, hingga seluruh Asia Tenggara, bahkan melintasi Laut Tiongkok Selatan sampai ke wilayah Taiwan dan Jepang.

Interaksi awal dengan Taiwan/Formosa tersebut bukan bersifat kolonial melainkan merupakan relasi bilateral dalam bentuk pertukaran keilmuan, agama, dan kemaritiman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peziarah Buddha, biksu, dan pelaut dari Asia Timur yang datang ke Muara Takus untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan kuno seperti Universitas Dharmapala atau Nandala-Svarnadvipa, yang berada di kompleks kawasan Muara Takus. Relasi ini membentuk jalinan kultural dan spiritual yang kuat, yang menjadikan kawasan Kampar sebagai simpul penting dalam sejarah peradaban Asia.

Dengan demikian, kajian terhadap adat istiadat Andiko 44 Kampar sebagai sistem kelembagaan warisan Melayu Tua, perlu dipahami dalam lanskap sejarah yang lebih luas yaitu sebagai bagian dari kesinambungan tradisi agung peradaban Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus, dan yang telah menjalin relasi aktif dengan dunia luar termasuk Taiwan. Penelusuran terhadap jejak hubungan ini akan memperkaya pemahaman kita tentang identitas kultural Kampar, serta mempertegas posisi strategis Kampar dalam sejarah global Asia Maritim.

II. Perjalanan Sejarah Kejayaan Nusantara Masa Lalu

Nusantara kuno dikenal dalam berbagai sumber asing dengan beragam nama yang mencerminkan keragaman identitas geografis dan budaya yang diakui oleh dunia luar sejak awal Masehi. Di antara nama-nama yang tercatat antara lain Swarnadwipa (Pulau Emas), Srivijaya, Surandiba, Sriboga, Indodunio, Pulau Poco (atau dikenal dalam teks Tiongkok sebagai Shilihfosih), yang kesemuanya merujuk pada kawasan maritim luas di bagian barat Nusantara dengan pusatnya yang oleh sebagian besar ahli dan evidensi arkeologis ditafsirkan terletak di Muara Takus, Kampar, Provinsi Riau, Sumatera Tengah [Mulyana, 1981; Poerbatjaraka, 1952; Mahāyana, 2021].

Menurut Prof. Slamet Mulyana dan filolog klasik Prof. Poerbatjaraka, Kadatuan Sriwijaya yang bermula dari Swarnadwipa (Kampar-Muara Takus) bukan hanya entitas regional, tetapi merupakan jaringan politik, keagamaan, dan maritim yang pengaruhnya menjangkau sangat luas. Wilayah pengaruhnya disebutkan mencakup dari pesisir timur Afrika Selatan, Madagaskar, India Selatan, Sri Lanka, hingga seluruh wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk Filipina dan Formosa (Taiwan) [Mulyana, Sriwijaya, 1981; Poerbatjaraka, Riwayat Sriwijaya, 1952].

Jejak hubungan peradaban Muara Takus dan Swarnadwipa dengan Formosa (Taiwan) dapat ditelusuri melalui catatan-catatan kuno yang ditinggalkan oleh para peziarah, biksu, navigator, dan penulis dari Tiongkok serta Asia Tengah, antara lain:

1. Fa Hien / Fa Huan (±233 M)

Merupakan seorang biksu Tiongkok yang melakukan perjalanan ke wilayah selatan (Nanhai) untuk mencari teks-teks Buddha otentik. Berdasarkan beberapa tafsir dari manuskrip Dinasti Jin dan Han, ia disebut sempat belajar di Swarnadwipa, khususnya di pusat ajaran Buddha dan pelatihan navigasi yang terletak di Muara Takus, yang kala itu telah dikenal sebagai pelabuhan dan pusat ilmu pelayaran dan keagamaan [Fa-Hien, A Record of Buddhistic Kingdoms, terj. Legge, 1886].

2. Chia Tan dan Tang Ho (Abad ke-3-4 M)

Kedua peziarah Tiongkok ini dikenal sebagai pelancong awal dari Dinasti Jin yang menulis tentang pelabuhan-pelabuhan di Samudra Selatan, dan beberapa sumber menyebut mereka menyinggahi wilayah yang dalam catatan mereka disebut sebagai Fo-shih (Shilihfosih) yang oleh sejarawan kontemporer adalah Muara Takus atau kawasan Kampar kuno [Groeneveldt, 1880].

3. I-Tsing / Yi Jing (671 M)

Salah satu tokoh kunci dalam sejarah hubungan budaya dan keilmuan antara Tiongkok dan Nusantara. Dalam catatannya, I-Tsing menyebut bahwa ia tinggal selama beberapa waktu di pusat pembelajaran Buddha dan bahasa Sanskerta di Svarnadvipa sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Ia secara spesifik menyebut adanya “pusat pendidikan Buddhistik dengan pengajaran disiplin tinggi” yang dalam banyak penelitian mutakhir diidentifikasi sebagai Universitas Dharma-Dwipa atau Nandala-Dharmapala di kawasan Muara Takus [I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, terj. Takakusu, 1896].

4. I-Tsing (674–678 M)

Selama ±3,5 tahun, I-Tsing menetap di Svarnadvipa dan belajar mendalam di Universitas Dharmapala. Ia mencatat adanya seorang guru besar bernama Lama Salempa Svarnadviva, seorang maha pandita Swarnadwipa, yang membimbingnya dalam penguasaan aksara Sanskerta dan teks-teks Vinaya. Ia kemudian berhasil menulis dua kitab penting serta menyusun catatan perjalanan yang menyebut kawasan Shilihfosih (Pulau Poco) yang ia hubungkan langsung dengan Sriwijaya Muara Takus [I-Tsing, 671 M; Tan, 1983].

5. Atisha Dipankara (±1022–1055 M)

Seorang guru besar Buddhadharma asal Tibet yang membawa sekitar 220 murid ke Swarnadwipa untuk belajar di Universitas Dharmapala, Muara Takus. Ia menetap selama 13,5 tahun, dan menjadi murid dari Mahaguru Sakyakirti, yang menurut banyak peneliti merupakan pemimpin spiritual tertinggi pada masa itu. Atisha kemudian dikenal sebagai reformator Buddhisme di Tibet dan Tiongkok, dan jejak pendidikannya di Muara Takus menegaskan pentingnya peran Swarnadwipa dalam jaringan pendidikan Buddhis internasional [Dipankara Atisha: Biography, Tibet Ancient Chronicles, 11th Century].

6. Ekspedisi Kubilai Khan (Abad ke-13)

Serangan pasukan Mongol ke wilayah Jawa pada akhir abad ke-13 M menyisakan banyak interaksi penting. Salah satu kronik Dinasti Yuan menyebut wilayah Samudera dan Shilihfosih sebagai kawasan yang berada dalam pengaruh “negara Buddhis kuat” sebelum akhirnya mendapat tekanan dari ekspansi Yuan. Dalam konteks ini, nama Sriwijaya dan Muara Takus disebut dalam daftar pelabuhan yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri dan taat kepada hukum Buddhis [Yuan Shih, Bab 210].

7. Ekspedisi Laksamana Cheng Ho (Abad ke-15)

Pada masa Dinasti Ming, hubungan antara Nusantara dan Tiongkok diperkuat kembali melalui ekspedisi armada besar Cheng Ho. Dalam salah satu catatan pelayarannya, wilayah Kam-pa (Kampar?) disebut sebagai pelabuhan penting yang masih menjaga adat keagamaan dan pelayaran kuno. Cheng Ho tidak hanya membawa utusan dagang, tetapi juga para cendekiawan dan biksu yang menjalin kerja sama dengan pusat-pusat pendidikan lama yang masih aktif di sekitar Muara Takus [Levathes, When China Ruled the Seas, 1994].

III. Beberapa Kesamaan Budaya Melayu Tua Kampar dengan Taiwan/Tiongkok

Hubungan historis dan pertemuan lintas budaya antara Kampar (sebagai peradaban Melayu Tua di Swarnadwipa) dan kawasan Formosa (Taiwan) serta Tiongkok kuno tidak hanya terekam dalam catatan pelayaran dan keagamaan, tetapi juga tercermin secara nyata dalam aspek budaya material, simbolik, dan sosial. Sejumlah kesamaan mencolok dapat ditelusuri melalui arsitektur, simbolisme, pakaian, peralatan rumah tangga, hingga sistem nilai, sebagaimana diuraikan berikut ini:

1. Kesamaan Arsitektur Bangunan Tradisional

Rumah Lontiok, rumah tradisional masyarakat Kampar, menunjukkan kemiripan dengan Vihara dan Kelenteng Tionghoa dalam hal struktur atap yang melengkung naik ke atas di ujungnya, atau disebut “lontiok” dalam bahasa Kampar. Bentuk ini secara simbolik mencerminkan keterbukaan terhadap langit dan keseimbangan kosmis nilai yang juga dipegang dalam kosmologi Tionghoa kuno. Baik rumah lontiok maupun bangunan vihara biasanya dibangun dalam kerangka empat persegi panjang dengan pengaturan ruang yang hierarkis dan simbolik (Syamsir, 2010; Waterson, 1990).

2. Simbol Hewan Naga sebagai Lambang Kosmis

Kedua budaya sama-sama menempatkan naga sebagai makhluk mitologis utama yang melambangkan kekuatan langit dan bumi. Dalam tradisi Tionghoa dikenal empat naga utama: Naga Langit (Tianlong), Naga Laut (Shenlong), Naga Bumi (Dilong), dan Naga Api (Zhulong). Dalam tradisi Kampar kuno, tiga dari empat jenis naga ini ditemukan dalam mitos rakyat dan ukiran rumah adat, kecuali Naga Api yang tidak dikenal dalam simbolisme lokal. Kepercayaan ini menunjukkan pengaruh lintas budaya terhadap simbol-simbol kekuasaan dan spiritualitas (Latif Hasyim, 2023; Yang, 2008).

3. Konsep Pusar Bumi dan Yin-Yang

Tradisi Melayu Tua Kampar mengenal simbol “pusar bumi” yang merupakan titik pusat kekuatan spiritual kosmos, sering digambarkan sebagai lingkaran tunggal yang berputar, melambangkan asal-muasal dan siklus kehidupan. Ini serupa dengan konsep Yin-Yang dalam filsafat Tionghoa yang digambarkan dengan dua bentuk setengah lingkaran yang saling berputar dalam kesatuan. Bedanya, dalam Kampar, pusar bumi bersifat tunggal dan melingkar spiral, sedangkan Yin-Yang bersifat dualistik dan komplementer (Nasr, 1989; Latif Hasyim, 2023).

4. Warna Kebesaran: Merah dan Kuning

Dalam kedua budaya, warna merah dan kuning memiliki makna sakral dan simbolik sebagai warna kebesaran. Dalam adat Melayu Kampar, warna merah sering digunakan dalam kain penghulu adat, sedangkan kuning dipakai oleh siompu, raja-raja atau datuk dalam upacara besar. Ini paralel dengan budaya Tionghoa, di mana kuning melambangkan kekaisaran dan merah sebagai simbol keberuntungan dan kekuatan (Turner, 2000; Sun, 2011).

5. Peralatan Rumah Tangga: Guci dan Tembikar

Budaya Melayu Kampar dan Tionghoa sama-sama mengembangkan kerajinan tembikar dan peralatan rumah tangga dari tanah liat, seperti guci (Takau), mangkuk/cawan, dan vasu/pinggan. Temuan arkeologis dari Kampar memperlihatkan adanya pengaruh teknik pembakaran tinggi yang serupa dengan teknik keramik awal dari kawasan Tiongkok Selatan, yang memperkuat dugaan pertukaran budaya melalui jalur maritim yang dipengaruhi Srivijaya. Bahkan di Kampar telah ditemukan keramik atau tembikar yang sangat tua yang menurut analisis telah dibuat zaman megalitikum dan neolitikum. (Bellwood, 2007; Balai Arkeologi Sumatra, 2018; AMM, 2023).

6. Kemiripan Pakaian Tradisional

Pakaian tradisional Teluk Belanga masyarakat Kampar memiliki pola potongan yang serupa dengan baju kokoh Tionghoa, dan secara fungsional mendekati baju kurung atau kimono. Kedua jenis pakaian ini menutup tubuh secara sopan, memiliki leher tinggi, dan digunakan dalam konteks upacara. Kesamaan ini mencerminkan prinsip kesopanan dan keteraturan hierarkis, nilai universal dalam budaya Asia Timur dan Asia Tenggara (Latif Hasyim, 2023; Reid, 1988).

7. Sistem Beladiri Tradisional

Silat Melayu, yang berkembang di Kampar, memiliki struktur gerakan, konsentrasi energi, dan filosofi spiritual yang sangat dekat dengan Wushu dan Kungfu dari Tiongkok. Keduanya bukan hanya bela diri, tetapi juga sistem disiplin moral dan latihan spiritual. Ada kesamaan dalam jurus tangan kosong, penggunaan senjata tradisional, serta nilai-nilai kehormatan dan pengendalian diri (Draeger & Smith, 1969; Latif Hasyim, 2023).

8. Penggunaan Kerudung/Sanggul oleh Kaum Perempuan

Perempuan Melayu Kampar tradisional mengenakan kerudung atau sanggul yang dihiasi tusuk sanggul (kadang diselipkan benda tajam untuk perlindungan diri). Hal ini memiliki kemiripan dengan tradisi perempuan Tionghoa klasik yang menggunakan ji () tusuk sanggul yang juga dapat difungsikan sebagai senjata rahasia dalam keadaan darurat (Ko, 1994).

9. Arsitektur dan Ukiran Tradisional

Bangunan adat Melayu Kampar dan arsitektur tradisional Tiongkok sama-sama dibangun dari kayu pilihan dan didekorasi dengan ukiran simbolik. Ukiran di Kampar sering berupa motif tumbuhan (pucuk rebung, bunga tanjung, kelok pakis) dan hewan (ular, naga, burung), sebagaimana dalam tradisi Tionghoa yang menghias bangunan dengan simbol serupa yang bermakna keberuntungan dan penjaga spiritual (Waterson, 1990; Latif Hasyim, 2023).

10. Kepercayaan terhadap Dunia Mistis dan MitologiKedua budaya memiliki kepercayaan terhadap mitologi, dunia roh, dan kekuatan alam gaib. Masyarakat Kampar sebelum Islam mengenal sistem kepercayaan animistik dan kosmologis, seperti dewa sungai, penjaga hutan, dan makhluk gaib. Hal serupa juga ditemukan dalam budaya Tionghoa yang mengenal dewa bumi, dewa langit, dan arwah leluhur. Meskipun kemudian mengalami proses Islamisasi dan Sinisasi, akar-akar kepercayaan ini tetap hidup dalam bentuk legenda dan narasi rakyat (Endicott, 1970; Latif Hasyim, 2023).

Bagikan Postingan:

Postingan Terkait