Jejak Kerajaan Kampar yang Terlupakan?

Peninggalan Kerajaan Kampar

Kerajaan Kampar atau Kerajaan Kampa adalah sebuah entitas politik kuno di wilayah tengah Pulau Sumatra yang telah disebut secara eksplisit dalam Pupuh XIII Kitab Nāgarakṛtāgama karya Mpu Prapañca pada tahun 1365 M sebagai salah satu negeri taklukan Majapahit di bagian barat Sumatra (Pigeaud, 1960).

Nama “Kampar” memiliki beragam konotasi historis dan geografis, antara lain sebagai: (1) penyebutan bagi wilayah adat Sa-Adat Salimbago yang secara lokal dikenal sebagai Tanah Andiko atau Tanah Kampar, (2) nama sungai utama di wilayah tersebut, (3) nama kerajaan, (4) nama kabupaten administratif modern, serta (5) nama kenegerian dalam sistem adat Andiko-Kampar.

Dalam deskripsi awal kolonial, Netscher menjelaskan bahwa wilayah-wilayah yang secara kolektif disebut sebagai Tanah Andiko (de adat- of Andikolanden) mencakup daerah-daerah yang tidak lagi terpengaruh pasang air dari sungai Kampar, Siak, dan Rokan. Di kawasan ini mendiami masyarakat yang disebut sebagai Kampar de Andikos, yakni masyarakat adat yang hidup berdasar hukum adat yang berlaku turun-temurun (Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870).

Menurut catatan dalam Silsilah Otok Cacau yang disusun oleh para ninik mamak Kampar, raja pertama Kerajaan Kampar adalah Raja Buyuong Saidi, yang memerintah wilayah Nagoghi Koto Pomban, yang kelak berkembang menjadi Nagoghi Kampar atau Kampa (Syarfi et al., 2011).

Cakupan wilayah Kerajaan Kampar mengalami perluasan seiring pembentukannya oleh konfederasi Limo Koto, yakni Kuok, Rumbio, Bangkinang, Salo, dan Air Tiris, yang kemudian berkembang menjadi kenegerian-kenegerian baru. Dalam sistem tersebut, kenegerian-kenegerian diperbolehkan memiliki raja sendiri, namun tetap berada dalam struktur pemerintahan utama di bawah Sultan Munawwar Syah, Sultan Abdullah, Sultan Mahmud Syah I, dan Sultan Ali Riayat Syah (Hasyim et al., Sejarah Singkat Negeri Kampar).

Secara geografis, wilayah inti kerajaan ini mencakup kawasan yang kini masuk dalam Kecamatan Kampa, Tambang, Siak Hulu, dan Perhentian Raja di Kabupaten Kampar; sebagian besar wilayah Kota Pekanbaru (kecuali Senapelan, Lima Puluh, dan Rumbai); serta seluruh wilayah administratif Kabupaten Pelalawan.

Menurut laporan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1515), pusat kerajaan Kampar tidak berada di pesisir, tetapi di pedalaman, sekitar pertemuan dua anak Sungai Kampar. Ia mencatat bahwa dari muara ke pusat kerajaan diperlukan waktu 7-8 hari perjalanan dengan perahu, melewati sungai yang deras dan sulit dilayari. Dari lokasi tersebut terdapat akses ke Rokan, Siak, Purim, dan Minangkabau, yang menandakan bahwa lokasi kerajaan bukanlah di hilir Kampar atau Kampar Kiri, melainkan di wilayah Kampar Kanan-yang dalam konteks kini mendekati Kecamatan Kampa atau Kampar Timur (Pires, 1515: hlm. 151).

Penafsiran ini menantang narasi lama yang menempatkan pusat kerajaan di Desa Tolam, Pelalawan. Justru lebih sesuai dengan deskripsi Tomé Pires bahwa lokasi istana berada di hulu sungai, bukan pesisir, dan mendekati pusat tradisional wilayah Limo Koto.

Peninggalan yang diyakini berasal dari Kerajaan Kampar antara lain Pasar Pekan Tua, Masjid Kubro Kampa di Desa Koto Perambahan, cap mohor Sultan Mahmud Syah yang terbuat dari perak dengan kaligrafi Melayu-Arab, cap kerajaan Kampa berbentuk lingkaran besi dengan aksara Kufi misterius, serta pusaka kerajaan seperti tombak trisula, meriam tembaga “Bujang Kalebong”, peti kerajaan, batu giok, dan bekas benteng perang sepanjang 1 km (Hasyim et al., 2011).

Cap Mohor Kerajaan Kampa
Cap Mohor Kerajaan Kampa

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Kampar adalah ketika Sultan Mahmud Syah, penguasa terakhir Kesultanan Malaka yang melawan Portugis, datang ke Kampar pada tahun 1525 M setelah kejatuhan Malaka tahun 1511. Setelah mundur ke Bintan, beliau akhirnya menetap di Kampar bersama keluarga dan pasukannya. Pada tahun 1526, ia dinobatkan sebagai Raja Kampar oleh Sultan Abdullah dan para pemuka adat, termasuk Dt. Somad Dirajo Pucuk Suku Bendang Kampa (Sulalatus Salatin; Syarfi et al., 2011).

Sultan Mahmud Syah wafat di Kampar pada tahun 1528 dan dimakamkan di wilayah Kampar. Kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Ali Riayat Syah, yang kemudian bermastautin ke Johor pada tahun yang sama. Kepergian Ali Riayat Syah menandai berdirinya Kesultanan Johor, yang dianggap sebagai kelanjutan Kesultanan Malaka dan Kampar.

Istri Sultan Mahmud, Tun Fatimah, wafat pada tahun 1527 dan dimakamkan di Sungai Tonang, Air Tiris. Makam beliau serta beberapa makam lainnya seperti makam bendahara Kerajaan Malaka masih dapat ditemukan di Kampar sebagai bukti hubungan erat antara Malaka dan Kampar.

Makam Tun Fatimah di Sungai Tonang, Kenegerian Air Tiris. 
Makam Tun Fatimah di Sungai Tonang, Kenegerian Air Tiris. 

Setelah Sultan Ali Riayat Syah menetap di Johor, terjadi kevakuman kekuasaan di Kampar. Baru sekitar tahun 1590 M, menurut sumber lokal, Sultan Abdul Jalil Syah dari Johor mengirimkan dua tokoh: Raja Abdurrahman untuk memimpin Kampar Hilir (yang kemudian menjadi Kerajaan Pelalawan) dan Raja Mahmud, anak kandungnya, untuk menjadi Raja Kampar. Maka sejak saat itu, Kampar dan Pelalawan menjadi dua entitas kerajaan terpisah yang sebelumnya merupakan bagian dari satu Kerajaan Kampar (Hasyim et al., 2011).

Kerajaan Kampar bertahan hingga wafatnya Sultan Adli Syah pada tahun 1939. Ia adalah raja terakhir yang memerintah dan wafat tanpa keturunan. Salah satu peninggalannya yang paling bersejarah adalah “Pisang Sasikek” dari emas, yang kemudian disumbangkan sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah wafatnya Sultan Adli Syah, kerajaan tidak dilanjutkan karena tekanan dari kolonial Belanda dan perubahan struktur pemerintahan Indonesia.

Pelantikan Sultan Terakhir Kampa H. Aziz Zainal
Pelantikan Sultan Terakhir Kampa H. Aziz Zainal

Pasca-kemerdekaan, seluruh kerajaan di Nusantara melebur ke dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pada tahun 2018, masyarakat adat Kampar kembali mengangkat seorang tokoh sebagai Sultan Kampa XIV, yaitu H. Aziz Zainal, S.H., M.M., mantan Bupati Kampar, yang bergelar Sultan Mahmud Syah Khalifatullah Akhirul Zaman. Penobatan dilakukan pada 26 Maret 2018, sebagai bentuk pelestarian marwah adat dan jati diri Melayu Kampar berdasarkan garis keturunan dan pengakuan adat.

Referensi

1. Pigeaud, Th. G. Th. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

2. Tomé Pires (1515), Suma Oriental of Tomé Pires (ed. Armando Cortesão, 1967), Hakluyt Society.

3. Netscher, E. (1870). De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602-1865. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

4. Syarfi, Drs. MA.Dpl IT et al. (2011). Buku Silsilah Otok Cacau Ninik Mamak dalam Masyarakat Kampar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kampar.

5. Hasyim, A. Latif, Dt. Bagindo et al. (2021). Sejarah Singkat Negeri Kampar & Berdirinya Kerajaan Kampa – Riau.

6. Sulalatus Salatin, Tun Sri Lanang.

7. Berkala Arkeologi “Sangkhakala”, Balai Arkeologi Medan, Edisi Khusus Kampar.

Bagikan Postingan:

Postingan Terkait