Hari Raya Enam: Tradisi Sakral dan Sosial Masyarakat Bangkinang dan Salo

Ziarah Kubur Masal Pada Hari Raya Enam Bangkinang

Makna dan Asal Usul Hari Raya Enam

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, masyarakat Bangkinang dan Salo tetap mempertahankan sebuah tradisi lokal yang disebut Hari Raya Enam atau dalam dialek Kampar: Aghi Ghayo Onam. Tradisi ini tidak lain merupakan hari besar masyarakat lokal yang dilaksanakan setiap 8 Syawal, setelah mereka menunaikan puasa sunnah enam hari berturut-turut (orang tua dulu takut lupa, dan supaya pasti jumlahnya 6 hari dibuat berturut-turut) dari 2 hingga 7 Syawal, sebagaimana dianjurkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.”
(HR. Muslim, no. 1164)

Maka dari itu, Hari Raya Enam bukanlah tambahan hari raya dalam Islam, melainkan ekspresi syukur kolektif masyarakat yang telah melaksanakan sunnah Rasul secara disiplin dan berjamaah. Istilah “Raya” di sini bukan dalam pengertian ‘Id syar’i, melainkan dalam makna Melayu: yaitu hari besar, hari kemuliaan, dan momentum berkumpulnya keluarga serta masyarakat secara masif dan sakral.

Filosofi dan Praktik Sosial Budaya

Pada Hari Raya Enam, seluruh masyarakat Bangkinang dan Salo berkumpul dalam suasana kekeluargaan yang sangat kental. Anak-anak perantauan yang tidak sempat pulang saat Idul Fitri, menjadikan 8 Syawal sebagai momentum kepulangan, agar bisa makan bersama, berkumpul dengan orang tua dan kerabat di kampung halaman. Salah satu makanan khas yang menjadi simbol hari ini adalah lemang, makanan dari beras ketan yang dimasak dalam bambu, simbol dari kebersamaan dan kearifan lokal.

Tidak ada sholat Id, tidak ada khutbah. Sebab ini bukan Hari Raya Idul Fitri kedua. Ini adalah hari besar adat, bukan perayaan keagamaan formal. Tidak satu pun rukun Islam atau syariat yang ditambah atau diubah. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap kesalehan lokal masyarakat Kampar yang telah mewariskan budaya puasa sunnah Syawal secara disiplin sejak dahulu kala.

Ziarah Kubur Massal: Antara Adab dan Spiritualitas

Ribuan Lemang Disiapkan dalam Festival Lemang 2025 pada Hari Raya Enam
Ribuan Lemang Disiapkan dalam Festival Lemang 2025 pada Hari Raya Enam

Salah satu ciri khas dari Hari Raya Enam adalah ziarah kubur massal yang diikuti oleh ribuan masyarakat, terutama di komplek pemakaman-pemakaman tua di Bangkinang dan Salo. Ziarah ini bukan ritual baru yang ditambah-tambahkan, melainkan amalan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW sendiri.

“Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, ziarahlah ke kubur, karena ia dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.”
(HR. Muslim, no. 977)

Ziarah pada hari tertentu tidaklah otomatis menjadi bid’ah. Jika ziarah dilakukan bukan karena meyakini hari itu memiliki keutamaan khusus secara syariat, melainkan karena faktor kekompakan sosial, kemudahan logistik, atau waktu libur, maka itu termasuk dalam kategori urusan duniawi (mu’amalat) yang dibolehkan.

Menentukan hari untuk berziarah demi efisiensi sosial dan kekompakan keluarga bukanlah bentuk tasyri’ (pembuat syariat) baru, tetapi sekadar penetapan waktu kolektif untuk memudahkan seluruh keluarga atau masyarakat melaksanakannya secara tertib.

Menjawab Tuduhan Bid’ah: Antara Ketertiban dan Kehati-hatian

Sebagian orang, tanpa memahami konteks lokal dan dalil fikih yang luas, menuduh Hari Raya Enam sebagai bentuk bid’ah dalam agama, dengan alasan ada “perayaan” dan “ziarah pada hari tertentu.” Tuduhan semacam ini tidak proporsional dan cenderung gegabah.

Pertama, tidak ada penambahan ibadah baru. Tidak ada shalat baru, tidak ada ritual khusus, tidak ada keyakinan hari 8 Syawal sebagai hari yang dimuliakan secara syariat.

Kedua, menentukan waktu berkumpul secara bersama untuk ibadah yang asalnya disyariatkan (seperti ziarah) bukan bid’ah, sebagaimana para ulama menganjurkan ziarah bersama pada hari Jumat atau saat keluarga lengkap hadir.

“Apabila suatu amalan ibadah sudah ada dasarnya, dan kemudian ditentukan waktunya oleh masyarakat demi maslahat, maka itu tidak termasuk bid’ah.”
Al-Imam As-Suyuthi, dalam “Al-Amr bil Ittiba’”

Ketiga, jika dalam pelaksanaannya ada kekeliruan (seperti kesyirikan, tawasul yang berlebihan, atau acara makan berlebihan), maka yang perlu diperbaiki adalah tata caranya, bukan menentang ziarahnya. Membasmi tradisi hanya karena ada praktik keliru adalah sikap yang tidak bijak dan melukai nilai-nilai kultural yang sudah tertanam ratusan tahun.

Kesimpulan: Tradisi yang Menjaga Spiritualitas dan Sosialitas

Tradisi Hari Raya Enam merupakan warisan spiritual dan sosial masyarakat Kampar, khususnya di Bangkinang dan Salo. Ia lahir dari kesalehan kolektif, bukan dari bid’ah atau penyimpangan. Ini adalah cara masyarakat menjaga syariat sunnah Rasul melalui budaya lokal yang tetap dalam koridor keislaman.

Maka, tugas kita adalah meluruskan pemahaman, memperbaiki praktik bila ada yang kurang tepat, namun tetap merawat tradisi luhur ini dengan cinta dan ilmu. Karena adat yang lurus tak akan bertentangan dengan syariat yang murni.

Referensi:

  • Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Hadis No. 1164 & 977.
  • Abu Syuja’. Taqrib fi Fiqh Syafi’i.
  • As-Suyuthi. Al-Amr bil Ittiba’.
  • Wawancara Tokoh Adat Bangkinang dan Salo: Ustadz Zulfikri, Buya Rahmat, dan Tok Ayah Gani (2024).
  • Observasi Lapangan oleh Tim Palangka Project, Festival Aghi Ghayo Onam (2023–2024).
  • Catatan Adat Lamo Kampar dan buku “Tradisi Syawal Masyarakat Melayu Riau”, oleh Dr. Lukman Nul Hakim (2021).
Bagikan Postingan:

Postingan Terkait