Gadis Rasjid adalah sosok perempuan cendekia dan pejuang emansipasi kelahiran Bangkinang, Kampar, Riau, pada 7 Agustus 1910. Ia tumbuh dalam lingkungan masyarakat adat Melayu Tua yang menjunjung tinggi nilai keilmuan dan harga diri perempuan. Keluarganya berasal dari Kampung Binuang, Bangkinang, sebuah kawasan yang saat itu menjadi salah satu pusat intelektual dan keagamaan di Sumatera Tengah. Semangatnya dalam memperjuangkan pendidikan dan kemerdekaan membuatnya dikenal sebagai salah satu pionir gerakan perempuan Indonesia, jauh sebelum nama-nama besar lain mencuat di pentas nasional.
Jejak Intelektual dan Pendidikan Awal
Gadis Rasjid menempuh pendidikan formal pada masa ketika akses perempuan terhadap sekolah masih sangat terbatas. Kecerdasannya membawanya menjadi guru dan pendidik pada usia yang relatif muda. Ia mengajar di berbagai kota di Sumatera dan kemudian aktif di Jawa. Kiprahnya meluas ke dunia organisasi perempuan, terutama melalui Kongres Perempuan Indonesia, di mana ia menjadi salah satu pembicara yang paling progresif dalam menyerukan perlunya pendidikan tinggi untuk kaum perempuan bumiputera ([RA Kartini Memorial, 1984]; [Arsip KOWANI, 1952]).
Meliput Perang di Medan Tempur
Salah satu catatan paling menakjubkan dalam sejarah hidup Gadis Rasjid adalah ketika ia secara langsung meliput situasi peperangan saat agresi militer Belanda. Ia menulis dan menyampaikan laporan-laporan perjuangan rakyat di medan tempur dari perspektif jurnalisme perempuan. Dalam beberapa arsip majalah dan surat kabar perjuangan tahun 1947–1949, nama Gadis Rasjid tercatat sebagai salah satu koresponden yang menyuarakan penderitaan rakyat, keberanian laskar wanita, serta ketegangan medan konflik bersenjata. Ia bukan hanya pengamat, tetapi juga pelaku aktif dalam narasi perjuangan kemerdekaan.
Srikandi yang Menginspirasi Chairil Anwar
Daya intelektual dan kepribadian Gadis Rasjid yang kuat tidak hanya membekas dalam sejarah organisasi, tetapi juga dalam dunia sastra. Chairil Anwar, penyair besar Angkatan ’45, disebut-sebut pernah jatuh cinta kepada sosoknya. Gadis Rasjid menjadi inspirasi dari beberapa sajak Chairil, termasuk yang paling terkenal “Doa” dan “Aku”, meskipun hubungan keduanya tidak pernah terang-terangan dipublikasikan secara resmi ([Jassin, Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45, 1956]; [Hasan Aspahani, Chairil Anwar & Perempuan, 2009]). Fakta ini memperlihatkan betapa kehadiran Gadis Rasjid melampaui ranah politik dan pendidikan, hingga menyentuh lapisan paling dalam dunia estetika dan perasaan penyair revolusioner itu.
Perempuan dengan Tekad Besi dan Visi Progresif
Gadis Rasjid bukan hanya guru, aktivis, dan jurnalis; ia adalah pemikir strategis yang menolak tunduk pada sistem patriarkal. Ia percaya bahwa perempuan tidak hanya harus berpendidikan, tetapi juga harus terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik dan sosial. Ia menyuarakan pentingnya integrasi perempuan dalam struktur negara dan masyarakat tanpa mengabaikan akar nilai adat dan agama.
Warisan yang Tak Tergantikan
Meskipun namanya belum sering masuk dalam buku-buku pelajaran resmi, jejak Gadis Rasjid tetap terpelihara dalam ingatan sejarah komunitas dan para peneliti gender serta pendidikan. Ia menjadi simbol perempuan Kampar yang intelek, berani, dan visioner, mengukir sejarah dalam senyap, tetapi mengguncang fondasi feodalisme dan kolonialisme.